Senin, 19 April 2021

Slave Dinamica


(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS: Al Anbiyaa’ ayat 52)

Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (QS: Al Anbiyaa’ ayat 53)

Bagaimana segala sesuatu bermula, darimana kita memulai, dan bagaimana hal tersebut berulang-ulang, seuntai kata ibarat cermin yang menandai paras. begitupun sebaik atau seenggan apa paras mencoba untuk bersolek. Seuntai kata itulah yang keluar, membuat makna, dimaknai, membuat perbedaan, mengundang simpati, dapat diterima, dan mengguncang keseluruhan situasi. Menyebar bak panen raya, ditanam, disemai, dituai dan kemudian berdilema, ketika paras enggan untuk bersolek. Dunia sudah terlanjur membuat retorika baru, atas keanggunan nomenklatur. Dan ketika itu terjadi, pesolek dengan paras terbaiklah yang masyur namanya. Tidak mungkin tidak…

Ikut dan mengikut dibelakangnya, lalu menempa, membuat gagasan akan keterbaruan, berdasarkan ketidakelokan,  yang meranggas dan mencoba untuk mengikis. Namun, pesolek di depan cermin selalu memiliki cara untuk memaknai ketidakselarasan, dan mencoba untuk berdebat, dengan tata cara yang sudah terlajur disusun.

Dalam acara perjamuan, menu masakan adalah tema utama, kemudian cara tuan rumah dan tamu berpakaian, peralatan makan, menandai resmi atau tidaknya, sebuah cara untuk mengisi kekosongan perut. Padahal cara yang paling relevan makan ialah bagaimana membuat perut kenyang, dan bukan bersendau gurau dengan status yang menonjol melalui menu yang disediakan oleh koki terbaik, bumbu dengan kadar pas terbaik, pakaian resmi koki, dan saat disajikan, pakaian koki sama sekali tidak tersentuh wajan gosong, ceceran bumbu, belepotan tepung, dan yang mengganggu menjijikkan saat dipandang, karena tidak mencerminkan retorika bergurau kelas atas. Padahal yang paling tersiksa disini adalah si koki itu sendiri.

Bukan…dan bukan hanya si koki. Penikmat hidangan adalah orang yang paling kelaparan di dalam ruang makan yang dihiasi lilin dan berbagai aroma penggugah, desain bersih meja dengan taplak sutra dan piring putih, lengkap dengan gelas kristal, dan sendok garpu mengkilat yang menandai bahwa benda tersebut tampak lama sekali tersimpan rapi dan jarang digunakan. Plakat atas kedermawanan melekat di dalam kantong, tanpa merasa terganggu bahwa mungkin, ada kemungkinan bahwa isi kantong bakal terkuras habis setelah melahap masakan. Menggerutu mungkin, atau setidaknya meninggalkan omelan untuk si koki yang kurang becus dalam meracik masakan, saat kantong terkuras habis. Apa mau dikata? Menyesal adalah perkara kemudian…

Kelaparan yang mendera tidak diapa-apakan sebelum koki berganti baju resmi saat penyajian. Dan begitu tersaji…mereka lupa bahwa lapar membuat mereka seharusnya beringas untuk satu asupan atas satu sajian menu. Soalnya ya gara-gara itu tadi, pakaian yang dikenakan berkelas dan status dari acara perjamuan juga berkelas. Mereka menelan ludah untuk mencoba ingat, bagaimana seharusnya menikmati masakan kelas atas. Mereka mencoba mengikis rasa lapar sedikit demi sedikit, bertahap, bergiliran, irama dimulut disesuaikan sebelum ditelan dan masuk ke perut. Tempo kunyah menjadi acuan bagaimana runutan atas permasalahan kesopanan dan adab bisa menjadi pilihan…berkelas atau rendahan.

Lalu…darimana adab begini berasal?

Saat itu terjadi, saya sedang duduk di lincak kayu saat sore, yang memang ditaruh diluar rumah sehingga seringnya kehujanan, atau kalau langit tidak sedang memburu, paling hanya terkena percikan air hujan yang menetes di tanah. Dan saat musim kemarau, teriknya matahari membuat celah rekahan nampak terlihat lebar seperti kayu usang.

Ditemani secangkir kopi susu, namun tidak sampai pekat sepekat latte italia karena toh resepnya menyesuaikan selera. Latte adalah dinamika adab atas sebuat citra sedangkan kopi susu adalah bahasa orang awam, yang seringnya mangkal di warung tegal…mungkin. Namun soal tempat mangkal, diluar kebiasaan berkerumun yang membuat celoteh mekar bak bunga mewangi ke mana-mana, kopi susu memang kadar mentah dalam membuat penghargaan atas asal mula bahan baku. Ya cuman kopi dan susu…tidak ada yang lain. Sedangkan latte adalah merk yang orang awam penasaran atas bentuk dan rasa. Keluar rumah pergi ke warung tegal anda akan ditertawakan kalau mencari latte. Soalnya pemilik warung tidak menghargai latte, sebagaimana mereka menghargai bentuk awal bahan baku kopi susu.

Anda harus pergi ke tempat setidaknya sekelas café, yang resmi menyediakan olah ulang nama yang bahan dasarnya sama dengan kopi susu. Latte…

Cemas saat peracik kopi menyeduh dan sesudah disajikan, kita berseloroh karena rasanya yang tidak begitu asing…yaaah, sama kaya kopi susu bikinan aku dirumah. Ya sudah… saya sudah ngerti latte sekarang dan seberapa berkelas rasa, cara penyajian dan tempat yang menyajikan.

Sekilas menerawang pengalaman di café mencari kopi susu bermerk, sambil memandangi kopi susu yang saya bikin tadi, saya mencari bentuk terbaik dari wujud yang bisa dipahami dari cara marketer memburu kegelisahan hasrat manusia. Meninggalkan bahasa lama dalam memulai cara pandang, atau dengan sedikit sentuhan modern, menutupi cara lama dengan penampilan dan bahasa yang sama sekali baru.

Momentum adalah apa yang coba dimanfaatkan para retail atau marketer kelas ecek-ecek, sedangkan cara membangun momentum adalah urusan para marketer perusahaan kelas atas. Mereka yang membangun trend dan mencoba mempertahankan untuk menghasilkan penjualan dalam jumlah yang sangat banyak. Jika dimungkinkan selamanya trend menguat namun titik beku atas pandangan usang karena tampilan yang itu-itu saja, adalah cara masyarakat majemuk bosan melihat sesuatu. Oh iya…trend menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, dan tanpa ada celah, mereka mempengaruhi seluruh kebudayaan tanpa memandang perbedaan suku, bahasa, dan bahkan warna kulit. Trend adalah pandangan yang paling mudah diterima tanpa mengungkit-ungkit asal usul dan seberapa berkelas atau seberapa rendahan kelihatannya. Asal nongol mengusung tema “waaah”…trend adalah yang paling diburu.

Trend juga menampik kelengahan isu dan berkembang berdasarkan asumsi bahwa apa yang paling laku, justru memainkan isu itu sendiri. Trend adalah pemain yang paling cemerlang dan berdasarkan data akurat atas keabsahan norma dalam tata cara berdagang, toh bahasa yang tidak berdasarkan data dianggap hilang dari rumus keberadaban trend dan marketing, dan jika tidak membuat pernyataan atas dasar data yang relevan, bahkan pikiran yang paling wajar pun dianggap tidak pantas untuk diterima. Karena itulah setiap pernyataan yang berasumsi marketing, harus menyertakan laporan data. Termasuk yang paling tidak penting untuk dimasukkan dalam laporan. Pokoknya data…jangan sampai tidak ada.

Pernah saat saya masuk kuliah…saat masuk, seorang dosen saya memperkarakan kata pokok yang sama sekali tidak menyasar toleransi yang berdasarkan fakta. Pokok mengalihkan perhatian, pokok mencoba melaikan fakta. Namun jika kata pokok dipakai untuk menyertakan data dan fakta, saya rasa bu dosen tidak akan keberatan dengan kata pokok dan tidak memperkarakannya.

Apa yang dicerna dan dipahami tidak dibangun dengan terburu-buru, tapi membuat kesimpulan awal atas bagaimana cara orang berkerumun. Marketer mencoba mencari cara, dan keberhasilannya ditandai dengan bagaimana cara membuat orang-orang berkerumun. Itulah trend…

Sekitar awal 1980an, saya ingat betul bahwa sebelum televisi menjadi era, diikuti dengan lakunya berbagai macam merk televisi, antena, dan perangkat pendukung lainnya, orang-orang diperkenalkan dengan bioskop ramah kantong gratisan, setiap peringatan hari-hari spesial tertentu, seperti hari kesaktian pancasila. Dimana kita dipaksa dengan suka cita, berkumpul di setiap tanah lapang, untuk menonton film bertema KB atau apalah yang intinya mengajarkan apa yang “orang atas” ajarkan ingin kita ikuti. Orang atas yang memainkan peran, sedangkan saya, masyarakat tidak perlu menampik apa yang sedang mereka coba mainkan. Toh tidak mengandung kerugian.

Begitulah caranya…

Trend dibangun tidak untuk kita terikat oleh apa yang kita coba peringati sampaikan, tapi membuat kita tertarik oleh gambar bergerak pada selembar lebar kain yang terlihat memiliki nilai cerita yang membuat kita mengerti sesuatu, atau membuat kita mengerti apa yang orang atas coba kabarkan ke keseluruhan lapisan masyarakat. Saya tidak melihat itu kampanye, betul…saat itu saya masih SD, jadi saya menampik untuk mengerti.

Yang saya mengerti adalah, setelahnya tetangga saya pada beli televisi begitu pula dengan kakak saya yang alhamdullilah sudah diberi rejeki untuk mampu membeli televisi, meskipun bekas, tapi masih bisa menjadi hiburan pelepas main petak umpet dan patil lele. Yah maklum, karena saya masih SD, Jadi tidak ngerti yang lain kecuali bermain. Tidak ada yang ngomong, saya harus mencari nafkah pada saat itu termasuk orang tua saya. Main sono sajalah…

Menilik dunia melalui berita, menonton film, suer…saya tidak mengerti bahwa pada saat itu dunia mencoba berkirim kabar. Yang membuat saya mengurungkan niat untuk mengunjungi Negara tetangga dalam daftar cita-cita saya, karena saya sudah melihat penampakan Negara tetangga melalui televisi. Namun akhir-akhir ini, saya merasa bersalah, jika hanya melihat keindahan dunia hanya dari kabar televisi. Saya merasa janggal jika tidak menambah pundi-pundi devisa kapital akun Negara tetangga dengan berkunjung hanya karena televisi.

Banyak orang yang cerita kalau dunia televisi sebenarnya adalah undangan untuk saya dan yang lain agar mengunjungi Negara tetangga. Karena itulah mereka sibuk beriklan. disana…yaah siapa tahu? Semoga saya diberi banyak rejeki sehingga tidak membuat iklan mereka - Negara tetangga - sia-sia termasuk, menambah pundi-pundi devisa capital akun mereka.

Hal ini terpikirkan hanya saat saya duduk bersantai di lincak depan rumah saat sore. Orang lalu lalang sepertinya baru pulang dari kesibukan aktivitas mereka, dan saya masih seperti biasa menyapa dan tersenyum saat mereka lewat. Tak tahu mengapa tapi kata orang tua, itu lebih sopan dan bersahabat daripada saya diam saja tidak menyapa dan tersenyum membiarkan mereka lewat. Itulah yang mereka ajarkan sampai saya tidak cukup mengerti cara mencerna cara sopan dan bersahabat yang lain. Dan memang, itulah yang menjadi acuan bagaimana beradab dalam pergaulan bermasyarakat.

***

Cukup lama saya memandangi kopi susu saya, tanpa meminumnya dan saat disruput, sudah mendingin…yaah tak apalah karena saya memang bermaksut menunggu magrib saat berbuka puasa. Tapi ya gitu…kelamaan jadi mendingin.

Salaamun Alaikum

Selamat menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1442 Hijriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7 Masa dan 7 Ayat Surat Al-Fatihah

"Jadi, mari kita tutup bersama-sama dengan membaca surat Al - Fatihah…” *** Sering dalam pertemuan atau majelis, pembaca pasti sudah ...